Oleh: Winarto
Sedangkan pahlawan nasional adalah sebuah gelar penghargaan tertinggi yang ada di Indonesia bagi seseorang yang meninggal, akan tetapi pada masa hidupnya mereka sangat berjasa dan juga merupakan seorang yang perlu di teladani oleh masyarakat Indonesia. Dan penghargaan tersebut diberikan langsung oleh pemerintah Indonesia. Lalu berdasarkan surat keputusan yang berasal dari presiden, tokoh yang merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia itu ada 159 tokoh dan 12 di antaranya adalah tokoh-tokoh pahlawan nasional wanita yang tentunya juga memiliki jasa dan juga pengaruh besar terhadap Indonesia. Salah satu tokoh pahlawan nasional wanita adalah Cut Nyak Dhien.
Sejarah Perjuangan Cut Nyak
Dhien
Cut Nyak Dhien merupakan tokoh
dari pahlawan nasional yang dilahirkan di Lampadang, Aceh pada hari selasa, dan
pada tahun 1848. Cut Nyak Dhien merupakan seorang pahlawan yang lahir dari
keluarga bangsawan yang sangat patuh terhadap agama yang dianutnya dan bisa
dikatakan ia berasal dari keluarga bangsawan yang agamis. Cut Nyak Dhien
sendiri merupakan keturunan langsung dari sultan Aceh pada saat itu yakni Teuku
Nanta Seutia, yang merupakan seorang Uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang
memimpin sebuah kenegerian/nanggroe setingkat kabupaten).
Pada tahun 1862 atau pada saat Cut Nyak Dhien masih berumur
12 tahun, ia langsung dinikahkan oleh orang tuanya dengan putra dari seorang
uleebalang Lamnga XIII yaitu Teuku Cek Ibrahim Lamnga, dan dari pernikahannya
itu ia dikaruniai satu anak laki-laki.
Perjuangan Cut Nyak Dhien
Masa perjuangan Cut Nyak Dien
dimulai sejak 26 Maret 1873. Kala itu Belanda telah menyatakan perang kepada
Aceh. Tak tanggung-tanggung, pasukan yang dikerahkan Belanda untuk berperang
melawan rakyat Aceh berjumlah sekitar 3.198 prajurit. Pada 8 April 1873,
pasukan Belanda, di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, mendarat di
Pantai Ceureumen, dan berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya
menguasai, Kohler dan pasukannya pun membakar masjid tersebut di hadapan rakyat
Aceh. Cut Nyak Dien yang melihat peristiwa tersebut seketika memberang.
Ia pun berseru, "Lihatlah wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita
dirusak! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai
kapan kita menjadi budak Belanda?"
Kendati berhasil memenangkan
perang pertama dan menewaskan pimpinan pasukan Belanda, yakni Kohler,
pertempuran belum berakhir. Di bawah pimpinan berikutnya, yakni Jenderal Han
van Swieten, daerah VI Mukim, yang notabene tempat tinggal Cut Nyak Dien,
berhasil dikuasai Belanda. Setahun berikutnya, Keraton Sultan pun jatuh. Hal
itu membuat Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana mengungsi pada
Desember 1875.
Pada 29 Juni 1878, suami Cut
Nyak Dien, yakni Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan Belanda ketika
tengah berupaya merebut kembali VI Mukim. Hal itu membuat Cut Nyak Dien semakin
geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Pada momen ini, tokoh
pejuang rakyat Aceh lainnya, Teuku Umar, akhirnya melamar Cut Nyak Dien. Pada
awalnya Cut Nyak Dien menolak pinangan tersebut. Namun, karena Teuku Umar
mengizinkan dan mempersilakannya untuk terjun dalam pertempuran melawan
Belanda, Cut Nyak Dien akhirnya menerima dan menikah dengannya pada 1880. Hal
tersebut meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan kaphe
ulanda (Belanda Kafir).
Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien
kembali berjuang untuk melawan pasukan Belanda. Pada 1893, Teuku Umar sempat
melakukan siasat dengan berpura-pura menyerahkan diri dan menjalin kerja sama
dengan Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengetahui berbagai strategi perang
Belanda.Siasat itu berhasil dilaksanakan. Setelah tiga tahun
berkamuflase, Teuku Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Tak ayal Belanda
harus terus menerus mengganti jenderal perangnya di Aceh kala itu. Namun nahas,
pada Februari 1899, Teuku Umar harus wafat akibat tertembak oleh pasukan
Belanda dan Cut Nyak Dien kembali kehilangan suaminya.
Kepergian Teuku Umar sangat
memukul perasaan Cut Gambang, anak Cut Nyak Dien dari pernikahannya dengan
Teuku Umar. Di tengah kesedihan Cut Gambang, Cut Nyak Dien sempat berkata,
"Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada
orang yang sudah syahid." Kendati kembali harus kehilangan suami,
hal itu tak membuat Cut Nyak Dien gamang dan mengerutkan naluri perjuangannya.
Ia memimpin pertempuran melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya.
Namun, kondisi Cut Nyak Dien
memang semakin renta. Matanya pun mulai rabun. Melihat kondisi demikan, sisa
pasukan yang dipimpinnya merasa sangat iba dan tak tega padanya. Karena
perasaan iba dan tak tega itu, salah satu pasukan Cut Nyak Dien, yakni Pang
Laot Ali, akhirnya memberikan informasi terkait keberadaan markasnya bersama
Cut Nyak Dien kepada Belanda.
Cut Nyak Dien akhirnya
berhasil ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda Aceh, sebelum akhirnya dibuang
ke Sumedang Jawa Barat pada akhir 1906. Kendati demikian, Cut Gambang, berhasil
melarikan diri ke tengah hutan ketika ibunya dikepung oleh Belanda. Pada
6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat dalam pembuangannya di Sumedang.
Berdasarkan keterangan, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959. Pencarian
makamnya dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan
makam Cut Nyak Dien, diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera
juga surah at-Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh.
ref: republika.co.id
Related Posted:
- Sepuluh Nasehat Sunan Kalijaga
- Mengenal Provinsi di Indonesia
- Mengenal Kerajaan Mataram
- Membangun Karakter Melalui Budaya Lokal
- Sejarah Sumpah Pemuda
- Sejarah Berdirinya Yogyakart
Tidak ada komentar:
Posting Komentar